Segalanya bermula dari kata, tulis seorang penyair. “Kita percaya pada Tuhan pun karena kata-kata,” begitu selanjutnya. Memang, barangkali ada benarnya, jika dikatakan bahwa “kata” merupakan awal dari setiap gerak manusia. Orang sering menyebut, “kata” sebagai abstraksi dari kenyataan gerak yang diragukan oleh makhluk manusia. Dengan “kata”, bisa dilakukan komunikasi, diketahui pikiran orang perorang, disingkap makna-makna yang implicit, serta simbol-simbol komunikasi lainnya.
Orang berkata-kata, orang menyampaikan gagasan. Kata, alhasil dutanya pemikiran, wujud konkrit dari gugusan ide-ide di kepala. Si kecil Ahmad yang belum lagi genap lima tahun, ketika minta maem pada ummi-nya, sebisa mungkin berusaha memakai kata-kata, meski dengan terbata-bata ia ucapkan permintaannya itu. Di pasar orang tawar-menawar harga, di masjid khotib sedang menyampaikan khotbah, di sekolah guru mengajar, semuanya menjadi mungkin karena “kata”.
Tapi tunggu dulu. Apa cuma berhenti sampai di situ saja keberadaan kata? Bukankah kepentingan orang bisa beragam, bahkan suatu saat dalam kenyataannya tabrakan interest itu selalu ada? Nah, padahal kata-kata selalu tunduk kepada lidah dan pikiran pengucapnya. Tak ayal lagi, kata-kata yang beredar di belantara perbahasaan manusia terlihat begitu nisbi. Idiom-idiomnya selalu berubah, konotasi yang ditujukan sebuah vocabulary gampang berbalik. Yang mutlak hanyalah wahyu. Sedang peredaran kata di bumi sebagai buah mulut penghuninya adalah relative, tunduk pada tuan yang mengendalikan putaran peradaban dan kebudayaan yang berkembang.
Ah, tak perlu berbelit-belit! Toh pada akhirnya orang kebanyakan, man in the street, tak bisa secara pas menafsirkan kata fundamental. Sehingga kata ini begitu saja dilekatkan kepada sebagian saudara kita yang sedang berjihad di Kashmir dengan nada negative. Begitu FIS meraih suara mayoritas di pemilu Aljazair, pers Barat memasang headline besar-besar: “Fundamentalis Aljazair, ancaman demokrasi FIS dibubarkan.”
Dan ketika jihad diperdagangkan oleh HAMAS yang sedang mengupayakan tegaknya hukum Allah di tanah wakaf Palestina, kontan saja koran-koran di Washington, London, Paris atau kota-koata pengekor lainnya mencap HAMAS sebagai biang terorisme Palestina.
Akhirnya telinga dunia terpaksa mendengar perbendaharaan kata baru dalam kamus perpolitikan abad dua puluh, yang berbunyi bom Islam, begitu Pakistan memasuki iklim pernukliran, sementara sebelumnya tak pernah terdengar sebutan bom Hindu untuk India atau bom Yahudi untuk Israel. Ketika perang Teluk pecah, pasukan desert storm-nya Amerika berlaga atas nama perdamaian, yang hal serupa tidak dilakukan ketika terjadi kebiadaban di Bosnia Herzegovina.
Orang-orang Islam yang menjadi pendengar setia Reuters, AFP, AP, UPI akhirnya tak bisa meyakinkan dirinya sendiri bahwa di Bosnia sedang terjadi Islamic Cleansing dan bukan Etnich Cleansing seperti yang diberitakan corong-corong Barat.
Kata-kata makin kabur maknanya, tak jelas gelap terangnya. Seluruh rumus ideologi peradaban menjadi begitu nisbi, yang sewaktu-waktu bisa diputarbalikkan sesuai denagn hasrat tirani dan hedonis yang disetir oleh yang duduk di singgasana. Kebenaran dan kebatilan makin tipis garis furqan-nya, karena rekayasa sistematik peradaban yang serba fragmatis dan permisif. Kebaikan dan keburukan makin tidak mudah memilahnya karena melemahnya kecemburuan kepada al-haq.
Kini, tak ada cara lain, kecuali berhadapan secara frontal dengan kata-kata mereka. Pers Islam perlu melakukan tarbiyah massa dengan meng-counter pernyataan-pernyataan kafirin ddan munafikin yang membingungkan umat. Pers Islam harus berada di titik kesadaran Ghazwul Fikri. Pers Islam mesti menjadikan Al-Baqarah ayat 42 dalam tiap tulisannya sebagai landasan berpijak, sebagai ancang-ancang dalam melangkah.
“…dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu sedang kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 42).
Wallahu A’lam.
Disadur dari ‘Arsitek Peradaban’ nya Anis Matta