Tangis kelahiran

Inilah dunia Islam kita: pembersihan etnis di Bosnia-Herzegovina, penindasan di Tajikistan dan seluruh Asia Tengah, pengusiran di Rohingya, kelaparan di Somalia.

Inilah dunia Islam kita: anak-anak Palestina yang terpaksa mengambil peran orang tua mereka dalam menghadapi aggressor Yahudi, penindasan rakyat Muslim Filipina yang tak kunjung selesai, dan Afghanistan yang harus memulai dari nol setelah Soviet memporak-porandakannya.

Inilah dunia Islam kita: negara-negara Teluk tak pernah dingin, skenario musuh-musuh Islam memecah belah mereka atas nama perbatasan territorial, dan Mesir kini mencari gara-gara dengan tetangganya, Sudan, atas nama perbatasan.

Wajah dunia Islam kita adalah lukisan sebuah bangsa yang selamanya sendu, kelam, kekanakan, dan serba amburadul. Darah dan air mata seakan tumpah di tanah kita tiada henti.

Hanya satu hakikat yang membuat kita sampai kini masih tetap yakin. Luka ini, suatu saat pasti sembuh. Hakikat itulah sunnatullah. Ia menentukan sesuatu selalu ada batasnya.

Kebesaran dalam sejarah, selalu harus dibayar dengan harga yang mahal. Sebab, pohon kebesaran suatu umat hanya dapat tumbuh di taman sejarah yang disirami air mata kesedihan dan darah pengorbanan.

Musibah datang silih berganti. Ini merupakan sunnatullah. Ia membuka mata hati kita pada sebuah kenyataan yang mahajelas: yaitu, jati diri keislaman kita. Penemuan jati diri ini sebagai titik awal yang menandai kelahiran suatu umat.

Harus ada tangis. Harus ada luka. Harus ada kematian. Sebab, kisah kehidupan sebuah umat bermula dari tangis kelahiran, setelah lepas dari rahim kesedihan.

Itulah yang terjadi sepanjang sejarah bangsa. Kini, Islam terbentang dari Ghana sampai Farghana, hasil dari darah dan air mata sahabat-sahabat Rasulullah SAW., para tabi’in, dan para pengikutnya.

Hidup ini hanya dua alternatif: menyerah pada keyakinan, atau maju menentang badai. Memilih alternatif pertama berarti kematian. Memilih alternatif yang kedua, berarti ada dua kemungkinan; menang dan memimpin dunia, atau syahid dan bahagia di haribaan Allah Ta’ala.

 

Disadur dari ‘Arsitek Peradaban’ nya Anis Matta

Published in: on Juli 31, 2008 at 4:56 am  Comments (1)  

The URI to TrackBack this entry is: https://firariswiyandi.wordpress.com/2008/07/31/tangis-kelahiran/trackback/

RSS feed for comments on this post.

One CommentTinggalkan komentar

  1. wajah islam indonesia kita adalah perpecahan akibat khilafiyah. saat berbedanya penanggalan labih berarti daripada persatuan yang ayom. saat lisan ini begitu tega membid’ahkan dan membicarakan dengan prasangka buruk saudaranya yang tengah berjuang.

    wajah islam indonesia kita adalah pengkerdilan. islam dipandang sebagai langkah mundur dari kebebasan, plural, dan emansipasi. pengekangan nafsu yang diinterpretasikan sebagai pengekangan hak asasi manusia. sebegitu rendahkah hak asasi manusia kita ?

    wajah dunia islam indonesia kita adalah keacuhan. ketidakpedulian akan betapa mudahnya masakan kita tercium tetangga kita yang kelaparan. ketidakpedulian dengan memakan uang rakyat yang telah menyebabkan rakyat lapar, muslimah menjadi pelacur dan anak anak dijual.

    beberapa sayatan luka luka di wajah dunia islam indonesia kita. bila ini adalah harga yang harus dibayar untuk tegaknya kejayaan, maka biarlah kami membelinya dengan harta dan darah kami


Tinggalkan komentar